Aku Alvin. Anak tunggal dari sepasang suami istri yang
sangat bahagia. Tidak apa, aku hanya anak tunggal. Karena dulu, Mama pernah
berjanji akan memberikan aku seorang adik yang sangat cantik. Tapi, sayangnya
janji Mama belum juga terwujud. Belum lagi karena Papa yang jarang pulang ke
rumah. Apa boleh buat?? Memang itulah tuntutan kerja Papa. Pergi
berbulan-bulan, sedangkan tinggal di rumah hanya dua minggu paling lama.
Aku sedang menggenggam sebuah piala
erat-erat. Buah kerja keras tim futsal yang memasukkan aku menjadi anggotanya.
Kami berhasil menang melawan sekolah SMA Pelita Harapan. Mau tau berapa skor
yang kami peroleh?? 4-0! Dan dua diantara gol yang tercipta itu berasal dari
tendanganku. Aku akan segera pulang dan mengabarkan hal baik ini pada Mama.
Tunggu! Benarkah ini mobil Papaku? Kalau
begitu, aku harus memberi tahu hal ini pada mereka berdua sesegera mungkin.
Supaya aku bisa membuktikan, mereka tidak akan kecewa memiliki anak seperti aku
ini.
“Alvin pulang!” seruku saat baru
menginjakkan kakiku di dalam rumah.
Aku terpaku sejenak. Papa dan Mama
sedang terlibat pembicaraan serius di taman belakang. Aku memutuskan untuk
tidak menguping. Karena meskipun umurku sudah 15 tahun dan aku merasa sudah
cukup pantas untuk tau apa yang terjadi, tapi mungkin ini urusan Mama dan Papa.
Aku tidak akan ikut campur urusan mereka, setidaknya untuk sekarang.
“Sudah!! Aku capek dengar kamu nuntut
ini itu dari aku terus! Kamu pikir aku nggak capek cari uang berbulan-bulan
nggak pulang? Lalu sampai di rumah kamu malah tuduh-tuduh aku sembarangan?!
Sebetulnya kamu ini kenapa sih?” seruan yang tidak mengenakkan telinga itu
terdengar oleh ku.
Apa-apaan sebetulnya ini? Karena setelah
seruan Papa itu, kudengar isakan tangis Mama yang begitu menyayat hatiku. Orang
yang paling aku sayangi di dunia ini menangis!
“Mama sudah liat sendiri isi SMS, BBM,
dan foto-foto Papa. Siapa perempuan itu, Pa?!” Mama masih mencoba bersuara
sambil terisak.
Aku tidak bisa berkutik. Kenapa harus
dengan teriakan begini?! Kenapa harus Mama yang menangis seperti ini?? Apa yang
sedang terjadi sebetulnya??
“Aku, ceraikan kamu!”
Aku yang juga ikut mengeluarkan airmata
menjadi menegang. Tubuhku jadi mendingin mendengar suara Papa itu. Bukannya
selama ini komunikasi Papa dan Mama baik-baik saja? Terus kenapa mereka cerai?
Aku segera turun dari lantai dua, tempat
kamarku berada. Dari tangga, aku bisa melihat jelas betapa terpukulnya Mama
mendengar satu kalimat pendek dari Papa itu. tubuh Mama berguncang hebat.
“Papa! Papa nggak boleh gitu sama Mama!!
Alvin nggak akan biarin Mama nangis gara-gara Papa!” seruku sambil menatap tajam
Papaku. Mungkin bukan lagi Papaku. Aku tidak mengenal orang seperti itu. Papaku
bukan orang yang ceroboh dalam mengambil keputusan. Bukan orang yang
terlalu-putus-asa sehingga memilih jalan cerai karena alasan dituduh-tuduh
seperti itu.
“Mau apa kamu?! Sudah, kamu nggak perlu
lagi komentar ini-itu! kamu nggak tau apa-apa tentang masalah ini”
“Papa bilang aku nggak tau apa-apa? Pa!
Alvin udah besar! Alvin udah ngerti mana yang salah mana yang benar! Yang salah
itu Papa!!” baru kali ini aku membentak dan menyalah-nyalahkan Papaku.
“Alvin!!” seruan yang intonasi dan
volumenya tidak bisa aku bayangkan itu hampir merusak gendang telingaku.
Seketika itu pula, sebuah tamparan keras melayang ke pipiku. Baru kali ini aku
mendapatkan tamparan. Bahkan dari ayah kandungku sendiri!
“Sudah! Kamu nggak usah libatkan anakku
dalam masalah kita.” Mama masih dalam keadaan bergetar hebat.
“Alvin, kamu nggak papa kan, sayang??
Mana yang sakit?” tanya Mama sambil meraba pipiku yang terkena tamparan tadi.
Aku menggeleng pelan, menandakan tidak terjadi sesuatu yang begitu parah,
setidaknya untuk tulang rahangku.
“Aku akan segera menyelesaikan masalah
ini dan mengajukan ke pengadilan. Hari ini juga. Jadi, setelah itu kamu bisa
pergi dari rumahku.”
Papa langsung menyambar kunci mobilnya
dari atas meja. Aku melihat sendiri kejadian yang sangat tidak berperi
kemanusiaan saat Papa menginjak tangan Mama kuat-kuat. Entah itu secara
disengaja atau tidak. Mama hanya meringis, menahan sakit. Laki-laki itu… Aku
bersumpah tidak akan menyebutnya Papa lagi!!
***
Ku mohon hentikan airmatamu Mama
Bila ternyata harus putus sekolahku
Dan kupilih gaya hidup yang tiada pernah
indah dimatamu
Mama masih saja menangis, dua hari sejak
perceraian itu dilangsungkan. Aku tidak tega melihat Mamaku yang kondisinya
sudah kacau, makin memburuk. Aku hampir menangis melihatnya. Tapi, yang aku
tegaskan dalam jiwaku, AKU, SEORANG ALVIN JONATHAN TIDAK AKAN MENANGISI SEMUA
PERBUATAN PAPAKU YANG SEMENA-MENA ITU!
Yang aku tau, Mama tidak punya keluarga
untuk dihubungi lagi. Tidak ada, karena Mama tidak pernah diberi izin menikah
dengan Papa –maksudku mantan Papaku— dulu. Yah, kalian tau kelanjutannya sampai
mereka pernah ada dalam bahtera keluarga sampai aku sebesar ini. Mm hmm.. Kawin
lari. Begitulah kira-kira.
“Kita kemana, Ma?” tanyaku.
“Kita cari kontrakan kecil disekitar
sini aja ya, Vin? Yang murah. Mama nggak punya banyak uang..”
Ucapan itu… Tolong, Tuhan. Bantulah
Mamaku agar nasibnya tidak sebegini buruknya. Bantulah agar aku bisa menambah
penghasilan Mama sehingga kami tidak kekurangan.
“Vin.. Mama boleh bilang sesuatu nggak
sama kamu?”
Aku lantas mengangguk sambil duduk
ditrotoar, diikuti Mama yang sesekali mengelap keringat yang membasahinya.
“Maafin Mama yang udah nyeret kamu
sampai kesini ya, sayang.” Aku menggigit bibir. Ya Tuhan..
“Ma, Mama nggak boleh ngomong gitu.
Alvin ini anak Mama. Alvin lahir dari rahim Mama. Jadi, kalau Mama punya
masalah, Alvin harus ikut menanggung masalah Mama juga dong. Mama nggak usah
minta maaf sama Alvin. Mama nggak salah apa-apa kok” ujarku sambil menyeka
airmata yang turun begitu saja.
“Vin…” ucap Mama sambil mengelus pipiku.
Aku menoleh. “Apa, Ma??”
“Mama nggak bisa sekolahin kamu lagi.
Mama minta maaf kalau cita-cita kamu jadi tergantung kayak gini. Jujur, Vin.
Mama nggak mau seperti ini. Mama nggak mau kamu putus sekolah kayak gini.
Mama…”
Ucapan Mamaku seterusnya tidak terdengar
oleh indera pendengaranku. Suara itu menghilang begitu saja. Aku terdiam cukup
lama. Sangat lama, mungkin, sehingga Mama harus mengguncang tubuhku agar aku
tersadar dari keterdiaman ini.
“Ma, Alvin nggak papa kalau harus putus
sekolah. Justru Alvin akan merasa sangat bersalah kalo Alvin masih nerusin
sekolah Alvin”
Aku terdiam lagi, lalu kemudian bangkit.
“Ayo, Ma. kita cari kontrakan” kataku lalu mengajak Mama berdiri mencari-cari
kontrakan kecil yang harga sewanya murah.
**
“Sejak kapan kamu ngerokok, Vin?” tanya
Mama saat mendapati sekotak rokok yang ada diatas meja di kamarku.
“Maafin Alvin, Ma” aku menunduk,
lagi-lagi rasa bersalah itu menghampiriku. “Alvin cuma melampiaskan dengan
ngerokok kok, Ma. Nggak sampe nge-drug”
“Iya, tapi nggak sehat, ALVIN!!” seru
Mama sambil membanting kotak rokokku. “Mama nggak suka kamu ngerokok kayak
gini”
“Maafin Alvin, Ma” kalimat itu. Makin
membuat aku merasa bersalah. Tapi, aku menemukan candu pada rokok itu sekarang.
Saat ini dan aku tidak bisa tidak menghisap rokok itu, satu hari saja.
Aku membuka bajuku. Membiarkan Mama tau
apa yang tersembunyi dibalik baju yang aku kenakan. Beberapa tatto yang aku
pasang ditempat teman-teman sekitar lingkungan baruku.
“Ya Tuhan.. Kamu ngapain badan kamu,
Vin? Dipakein tatto kayak gini??” Aku melihat airmata tumpah dari sudut mata
Mama. Sungguh, airmata yang tidak pernah aku lihat sebulan ini, harus tumpah
lagi.
“Ma, maafin Alvin. Untuk kali ini aja.
Untuk perbuatan Alvin yang ini aja. Maafin Alvin, Ma” tuturku sambil memegang
dua bahu Mama. Aku sudah tidak bisa tahan lagi. Pertahananku jebol. Airmataku
akhirnya tumpah juga, saat aku menyeka airmata Mamaku.
“Alvin, jangan kayak gini sayang…”
Kalimat yang sanggup membuatku membeku.
Sambil masih memegang dua bahu Mama, aku terdiam lama. Mama melepaskan pegangan
dua bahuku. Kali ini dipeluknya aku, seakan kami baru pertama kali bertemu dan
pelukan hangat itu, aku rasakan tanpa satu sosok yang sejak aku lahir sudah
menemaniku dan Mama.
**
Tak mampu ku mengampuni diriku, Mama
Bila ku cerna harunya arti doamu
Yang kau panjatkan untukku saat ku bawa
diriku semakin dalam tuk terjatuh
Aku baru pulang dari rumah temanku
disekitar sini. Teman-teman baruku tentunya. Karena, sudah pasti mereka tidak
akan mau lagi berteman, bahkan mungkin tidak sudi untuk mengatakan bahwa aku
ini adalah ALVIN JONATHAN, teman mereka dulu.
Tidak ada tanda-tanda Mamaku disini.
Kemana Mama?? Segera kusibak tirai kamar Mamaku yang tidak berpintu. Wanita itu
terduduk lemas dilantai sambil menangis, terisak, dengan bahu yang
terguncang-guncang karena menangis.
“Tuhan.. HambaMu ini memohon demi
seluruh darah yang mengalir dalam tubuh hamba. Demi seluruh hidup yang rela
hamba pertaruhkan demi anak semata wayang hamba. Demi dia yang dulu dan
sekarang sudah tak mungkin lagi untuk hamba raih. Kembalikanlah anak hamba
satu-satunya seperti dulu lagi, Tuhan.. Agar hamba tidak merasa bersalah telah
membawanya lari dari kehidupannya yang sesungguhnya. Agar hamba tetap merasa
dia adalah anak hamba yang sangat hamba sayang. Tuhan, jangan kau biarkan dia
berubah. Jangan biarkan dia terjerumus dalam pergaulan yang tidak terdidik.
Hamba mohon, Tuhan. Jangan permainkan takdirnya. Jangan buat dia tergilas oleh
roda-roda keputusanMu yang belum dapat diterima oleh anak seumurnya. Berilah
Alvin yang terbaik bagiMu Ya Tuhan.. Supaya hamba bisa turut senang melihatnya
kembali ke jalanMu”
Aku menangis. Doa itu.. Untukku kah? Ya
Tuhan.. Salahkah bila selama ini aku lari dariMu?? Salahkah bila selama ini
perjuanganku untuk menghindar dari takdir menjadi seperti ini?? Tuhan, betulkah
aku yang membuat Mamaku menjadi seperti itu?? Ampuni aku, Tuhan.. Mohon ampuni
aku..
“Ma…” panggilku pelan. Mama masih
terisak, lalu menoleh ke arahku.
“Kamu udah pulang ya, Vin?? Dari mana?”
tanya Mama sambil menyeka airmatanya
“Dari… Mama kenapa nangis?”
***
Bila ku tak pernah sanggup untuk bangkit
dari
Kegagalan yang tak seharusnya kau sesali
Karena kenyataan hidup yang aku jalani
Tak seindah saat ku dengar engkau
bernyanyi
Aku menatap nanar sebuah grand piano
yang terlihat jelas dari etalase sebuah toko musik. Mirip grand piano yang aku
miliki sebelum terjadinya kejadian yang membuat hancur seluruh hati Mama. Grand
piano yang membuat aku tersenyum setelah mendengarkan Mama menyanyikan sebuah
lagu saat aku bersedih karena tidak memenangkan pertandingan, bersedih karena
mendapat nilai tidak memuaskan, dan banyak hal lain yang membuat aku bersedih.
“Mau ngapain dik??” tanya seseorang dari
dalam toko musik itu. Aku terkesiap.
“Per.. Permisi, Pak.. Saya boleh.. Main
grand piano itu sebentar aja nggak?? Satu lagu aja, Pak” jawabku dengan gagap.
Tak ku sangka, pemilik toko musik yang ramah itu tersenyum.
“Iya, boleh. Silakan adik masuk saja”
Aku langsung masuk kedalam toko musik
yang ternyata lebih besar daripada kelihatannya. Banyak gitar, bass dan alat musik
lain yang ada di kotak kaca lain di toko ini. Tapi, ternyata yang aku baru
sadari, hanya ada satu grand piano disini. Yang ingin sekali aku mainkan itu.
Aku menekan tuts piano yang kelihatannya
memang sama dengan punyaku. Satu lagu yang pernah dinyanyikan Mama untuk aku,
waktu aku merasa menang karena banyak gol-gol saat permainan futsal atau sepak
bola yang aku ciptakan, atau mungkin diwaktu aku terpuruk karena kekalahan tim
futsal yang disebabkan oleh kelalaian ku sendiri.
Ujian hidup yang slalu menerpamu..
Yang berjuang untuk hidup yang hanya
sementara..
Rasa perih yg hujani hatimu..
Yang diberikan oleh rasa yangg hanya sementara..
Kita hidup di dunia yang penuh tanda tanya..
Yang tak mungkin kau ubah dan terpaksa mengikutinya..
Kita berada diantara benar atau salah..
Yang tak mungkin dapat kau ukur dengan rasa..
Berdoalah..
Sampaikan pada Tuhan semua keluh kesahmu,
dia kan menjawabnya
Percayalah..
Dia kan menunjukkan kasihnya kepadamu,
yang lalui jalannya
Percayalah…
Wahai kamu yang tak sperti mereka..
Yang terlihat cerah menjalani hidupnya..
Pandangan hidup yang slalu lihat keatas saja..
Jadi pemicu keinginan yang tiada habisnya..
Bersujudlah..
Akui pada Tuhan semua kelemahanmu,
dia kan menguatkannya
Memohonlah..
Dia kan memberikan yg terbaik untukmu,
melalui caranya
Percayalah..
“Alvin, nggak boleh sombong dulu. Diatas
langit masih ada langit, sayang. Kamu harus terus bekerja keras, berusaha, tapi
juga jangan lupa berdoa sama Tuhan. Karena kalau kamu nggak mau doa sama Tuhan,
semua yang kamu raih akan lenyap begitu saja” suara
itu mendengung di telingaku. Suara yang sempat jadi pendorong agar aku tidak
lantas berpuas diri. Suara Mama.
“Sayang, kamu nggak boleh kayak gini
dong. Liat disana masih banyak orang yang kurang beruntung dari kamu. kamu
masuk tim futsal dengan mudah, sedangkan orang lain yang nggak diterima di tim
futsal sekolah? Gimana nasibnya? Alvin pokoknya jangan lupa terus memohon sama
Tuhan supaya diberi kekuatan, dikasih jalan biar sukses. Oke??” Ah, suara itu lagi. Penyemangat saat aku terjatuh. Pemicu supaya aku bangkit.
Ya Tuhan, mana motivasi Mama yang dulu sering ditujukan padaku itu?? Aku
benar-benar rindu kalimat-kalimat motivasi dari Mama.
Aku serasa bernyanyi dengan Mama. Serasa
Mama turut menyanyikan lagu kami itu bersama-sama. Seakan juga ikut meaiinkan
tuts-tuts piano ini denganku, sambil saling tertawa, sambil mengelus-elus
kepalaku, sambil mencium puncak kepalaku.
“Dik, kenapa?” tanya pemilik toko musik
itu sambil berdiri disebelahku.
Aku tersadar. Airmataku ternyata sudah
merembes dari dua sudut mataku. Bapak ini ternyata juga mengerti bahwa aku
sedang mengalami masalah yang sangat rumit.
“Permainanmu bagus. Kalo kamu mau, kami
akan menjadikan kamu penyanyi dan pianis untuk menarik pelanggan toko musik
ini. Gimana?”
“Bapak serius?”
“Iya, saya serius. Kalau begitu, besok
mulai kerja disini ya?” ujar pemilik toko itu.
Ya Tuhan, semoga aku mendapatkan
penghasilan yang lumayan untuk bantu Mama. Semoga!
**
Peluklah lelah jiwaku Mama
Yang terluka dipecundangi dunia
Hanya kasihmu yang mampu lindungi lemah
hatiku
Yang tak sekuat hatimu
“Ma…” panggilku saat Mama sedang
menyiapkan makan malam untuk kami yang tadi aku bawakan.
“Kenapa, Vin?” tanya Mama sambil
mengambilkan sendok dan menyodorkan makanan padaku.
“Boleh nggak, Mama suapin Alvin. Sekali
ini aja” pintaku sambil menatap sebungkus nasi yang dialasi piring itu.
Mama tersenyum padaku. Senyum yang belum
bisa aku artikan maksudnya. Senyum bahagia, senyum sedih, senyum haru, ataukah…
Senyum rindu??
“Sini. Mama suapin ya??” ujar Mama
sambil menyendokkan nasi ke dalam mulutku. Aku membuka mulut dan membiarkan
nasi yang disendok Mama itu memenuhi setiap rongganya.
“Kenapa… Kamu minta Mama suapin kayak
gini, Vin??” tanya Mama terbata. Aku terdiam sejenak. Untuk alasan apa aku
minta disuapin oleh Mama? Aku juga bingung sebetulnya. Tapi, mungkinkah
karena….
“Alvin… Kangen…” Kalau saja aku tidak
bersumpah menyebutnya Papa lagi.. Pasti akan aku katakan bahwa sejujurnya aku
merindukannya. Merindukannya yang dulu selalu membawakanku oleh-oleh dari
setiap negara yang dikunjunginya.
“Mama.. juga kangen.. sama Papa kamu…”
Kalimat yang ternyata mampu dikeluarkan
Mama. ‘Papa kamu??’ Masihkah Mama berharap bahwa mereka akan kembali lagi?
Masihkah Mama berharap bahwa aku akan memanggilnya Papa lagi??
“Alvin nggak bisa bohong, Ma. meskipun
Alvin benci sama dia, Alvin nggak pernah lelah untuk kangen sama dia. Walaupun
mungkin, dia langsung teriak nggak sudi kalau Alvin deket-deket” ujarku.
Mama langsung meletakkan piring
makannya. Lalu kemudian ganti memelukku yang sedang terisak. Aku memang benci,
tapi aku juga rindu. Aku rindu, tapi aku benci dengannya yang tega pada Mama.
“Jangan benci dia, Vin. Dia Papa kamu,
sayang” kata Mama yang masih mengelus punggungku yang berguncang.
“Tapi.. Dia.. Dia udah nelantarin Mama
kayak gini. Dia udah bikin Mama sengsara kayak gini. Dia.. Dia udah bikin Alvin
pengen lari, kayak gini dan ujungnya bikin Mama nangis lagi”
“Mama nggak papa kalu harus nangis tiap
hari. Justru kalau Mama diam, itu bakal menimbulkan pikiran yang enggak-enggak
buat Mama, Vin. Jangan dengerin hawa nafsu kamu untuk benci sama Papa kamu
sendiri, kalau dalam hati kecil kamu, kamu sangat sayang sama Papa kamu”
“Udah ya, Ma. kita nggak usah bahas dia
lagi. Alvin punya kabar baik untuk Mama” ujarku sambil menyeka airmata Mama
dengan dua ibu jariku. Aku mencoba tersenyum, walaupun sisa-sisa kerinduanku
yang berubah menjadi tangis itu masih jelas.
“Alvin… Dapat kerja sebagai penyanyi
sama pemain piano di salah satu toko musik, Ma. Bayarannya lumayan. Setengah
dari bayaran kontrakan rumah satu bulan”
“Bukan penyanyi café kan, Vin?”
“Bukan, Ma. Alvin kerjanya siang, kok”
“Ya udah, Mama izinin kamu kerja disitu.
Tapi, jangan macem-macem loh. Nggak boleh ngerokok lagi ya? Kan kamu sudah
dapat pelarian yang pas. Mama mohon, Vin. Jangan nyakitin diri kamu sendiri”
ujar Mamaku. Aku hanya tersenyum. Betul juga, pekerjaan ini salah satu hobiku
juga. Mungkin, dengan begini aku akan berhenti merokok. Mudah-mudahan..
**
Tepukan tangan mengiringi selesainya
permainanku untuk hari ini. Banyak juga uang yang terkumpul dalam sebuah kotak
yang disediakan Pak Irwan –pemilik toko itu—. Tidak tau berapa jumlahnya, yang
jelas uang itu harus aku serahkan kepada Pak Irwan secepatnya.
Namun sebelum langkahku untuk masuk
sempat terselesaikan, aku menangkap siluet seseorang yang berjalan menuju
halte. Kalau tidak salah itu kan…
“Shilla itu matre, Vin. Jangan deket-deket
sama dia deh. Ntar lo diporotin loh”
Aku baru ingat! Dia itu kan Ashilla
Zahrantiara. Cewek populer di sekolahku. Cewek yang dibilang matre oleh
pacarnya sahabatku, Ify. Tumben dia sendirian. Padahal, untuk ukuran
cewek cantik kayak dia itu, nggak mungkin jalan sendiri. Setidaknya, pasti ada
cowok yang menemaninya. Seperti, yang terakhir aku lihat sebulan yang lalu, dia
jalan dengan Cakka, pacarnya. Memangnya mana Cakka? Kenapa dia sendirian?
Ya ampun! Aku hampir saja lupa. Kotak
ini harus segera aku serahkan ke Pak Irwan. Supaya aku bisa dapat bayaran dan
bisa cepat pulang.
**
Oh, ya ampun! Si Shilla-Shilla itu
sekarang duduk di halte sendirian. Tumben dia duduk di halte. Menunggu bis kah?
Buat apa pula dia nungguin bis kalau biasanya dia naik mobil mewah pacarnya??
Yah, peduli apa aku? Kenal dia saja waktu pertama masuk sekolah, dan itupun tau
dari Ify.
“Hai..” sapaku tiba-tiba. Entah kenapa,
aku tidak bisa menahan untuk tidak menyapa gadis ini.
Shilla menoleh padaku sebentar, aku
sempat melihatnya, namun kemudian dia mendengus dan mengalihkan pandangannya.
“Elo Shilla kan?” tanyaku.
“Kenapa kalo gue Shilla? Lo mau
ikut-ikutan ngatain gue matre biar elo bisa ngeliat gue jatoh, keinjek?! Gitu?”
tanyanya sambil mendelik padaku. Aku jadi ngeri.
Eh tapi tunggu! Apa maksud Shilla ‘Lo
mau ikut-ikutan ngatain gue matre biar elo bisa ngeliat gue jatoh, keinjek?!’.
Apa mungkin dugaan orang lain tentang dia itu bikin dia jadi sendirian kayak
gini?
Shilla memandangiku dengan tatapan
heran. Kenapa lagi cewek ini? “Elo… Elo Alvin Jonathan, kan?” kali ini dia yang
menanyaiku. “Kok udah jarang keliatan?”
“Jarang keliatan gimana maksud lo? Kalo
di sekolah mah, itu emang. Soalnya gue udah nggak sekolah disitu lagi”
“Terus? Lo sekolah dimana dong?” Shilla
memutar arah duduknya. Kali ini mungkin terdengar ramah dari yang tadi, dan terdengar
lebih antusias.
“Putus sekolah. Yah, krisis keluarga gue
lah”
“Mau cerita?”
“Boleh, tapi jangan disini” Aku sendiri
bingung kenapa aku merasa harus menceritakan masalahku pada cewek yang tadi
jutek itu.
AKu lantas menggandeng tangan Shilla menuju
ke sebuah tempat yang hampir sering aku kunjungi. Tempatnya tidak terlalu sepi,
sih. Tapi kalau untuk membicarakan hal ini, mungkin lebih tepat.
“Orangtua gue cerai, Shil. Gue ikut
nyokap…..” Ku ceritakan semua masalahku satu bulan yang lalu. Kisah yang sangat
tidak bisa aku terima, sebetulnya. Tapi mungkin, takdir sepertinya sedang
senang mempermainkanku. Apa boleh buat.
Shilla hanya mengangguk-angguk, sambil
sesekali menenangkan emosiku yang meledak-ledak saat menceritakan bagian mantan
suami Mama itu. Aku tidak bisa tidak emosi. Aku sudah kelewat dendam dengan
orang itu.
“Terus elo kenapa sendiri? Sampe
marah-marah waktu gue tanya elo Shilla apa bukan”
“Elo ketinggalan berita heboh, Vin.
Setengah bulan yang lalu, gue diputusin sama Cakka gara-gara kabar yang –lo tau
sendiri apa aja kabarnya kan. Semuanya jadi ngejauhin gue. lo tau sendiri
reputasi Cakka gimana. Dia bisa bikin orang lain ngejauhin gue dengan kans-nya.
Terus, beginilah gue. nggak punya temen lagi” tutur Shilla dengan pandangan
kosong. Aku jadi iba melihatnya.
“Tapi sumpah, Vin! Gue itu nggak matre!
Gue matre buat apa, coba? Orangtua gue ngasih apa yang gue mau. Gue nggak pernah
minta dibeliin apa-apa sama cowok-cowok itu. merekanya aja yang nyangka gue
manja sampe gue dibeliin apa aja yang gue pengen. Tapi.. Sumpah, demi Tuhan..
Gue.. Gue nggak mat..”
Shilla menumpahkan airmatanya. Aku
mengerti. Shilla ini cewek yang super tegar. Aku saja mengaku, dia lebih tegar
daripada aku.
“Jangan nangis, SHil. Gue nggak akan
biarin cewek nangis didepan mata gue”
“Tapi gue sakit hati, Vin, dituduh-tuduh
kayak gitu. Mereka temen-temen gue. Gue percaya sama mereka. Gue sayang sama
temen-temen gue, Vin. Tapi mereka malah percaya sama gosip itu. Gue udah nggak
punya temen lagi, Vin. Nggak ada yang mau temenan sama gue lagi” tangis Shilla
pecah lagi
“Nggak usah nangis, Shil. Gue mau jadi
temen elo. dan gue percaya kalo elo nggak matre. Kalo elo matre, elo nggak mau
kan, temenan sama gue. nggak mau deket-deket karena gue nggak punya apa-apa
untuk gue kasihin ke elo” kataku pelan sambil mengelus-elus rambutnya.
“Iya, Vin. Oh iya, hari ini gue boleh
main ke rumah lo nggak? Gue nggak punya temen di rumah” Shilla bangkit sambil
mengusap airmatanya. Aku jadi tersenyum melihat senyum merekah dari sudut
bibirnya.
“Boleh aja. Tapi, gue mau nyari makan
siang dulu buat Mama gue. Yuk!” ajakku sambil menggandeng tangan Shilla.
**
Peluk hati kecil yang penuh dendam ini
Ajari tuk menghapus sebuah rasa benci
Biarkan kasih lembutmu sentuh hatiku
Ubah aku jadi buat hati yang dulu
“Siapa yang nangis, Vin?” tanya Shilla
saat kami berada pada radius 5 meter dari rumahku.
“Itu suara nyokap gue, Shil!” seruku
setelah menganalisa suara tangis yang sama-sama kami dengar itu. Aku segera
berlari tanpa memperdulikan Shilla yang sedang terbengong.
Ada sepasang sepatu diluar rumah. Ini…
Ini pasti sepatu orang itu!
“Maafin aku udah egois. Maafin aku yang
buat semuanya jadi hancur. Lebih hancur lagi hati aku, karena kehilangan kamu
dan Alvin” suara yang sangat aku kenal itu. suara bariton dan terdengar
bergetar itu.
“Tapi, aku nggak bisa bikin Avin sayang
lagi ke kamu. Dia udah terlalu membenci kamu. Aku nggak bisa apa-apa lagi biar
Alvin sayang sama kamu lagi” suara Mama yang juga bergetar itu, diiringi isakan
yang belakangan ini membuat mata Mama membengkak.
“Mama…” panggilku sambil mematung.
“Alvin…” laki-laki itu memanggil namaku.
Ternyata dia masih ingat aku siapa. Aku kira, dia sudah lupa namaku bahkan
sebelum aku keluar dari rumahnya.
“Mau bikin ulah apa lagi? Mau bikin Mama
nangis lagi? Mau bikin aku jadi hancur? Aku udah nggak mau liat Mama nangis
lagi. Jadi tolong, jangan datang untuk mengorek rasa sakit itu lagi kesini”
ujarku sengit.
“Papa cuman mau minta maaf, Vin. Papa
mau bangun keluarga kita lagi. Kita sama-sama lagi bertiga. Ya??”
“Aku mau Papa janji dulu. Nggak akan
sakitin hati Mama lagi. Aku mau Papa janji nggak akan bikin Mama nangis lagi”
tuntutku.
“Papa janji nggak akan nyakitin Mama
sama Alvin lagi. Papa janji” ujar Papa sambil memelukku dan Mama.
Dari balik pelukan itu, kulihat Shilla
sedang tersenyum padaku. Aku mengedipkan sebelah mataku, lalu melepaskan
pelukan yang jarang aku dapatkan.
“Pa, Ma, kenalin ini Shilla. Shil, ini
Papa sama Mama gue” kataku memperkenalkan Shilla dan orangtuaku.
“Saya Shilla, Om, Tante. Temennya Alvin
di sekolah” ujar Shilla sopan, sambil mengangguk.
“Kok jarang main kesini?” tanya Mama.
“Baru ketemu Alvin di halte tadi, Tan.
Soalnya udah lama gak liat Alvin ke sekolah” jawab Shilla.
Papa mengernyit heran. “Kamu putus
sekolah? Kenapa?” tanya Papa padaku. Aku cuma menunduk dalam-dalam.
“Aku nggak punya uang buat biayain
Alvin. Jadi, dia terpaksa putus sekolah” jawab Mama.
“Kalo gitu, sekarang kita pulang ke
rumah. Besok kamu harus sekolah lagi” kata Papa. Aku hanya mengangguk. Kulihat
Shilla yang kini berdiri disebelahku.
“Berarti besok elo nggak perlu khawatir.
Gue bakalan nemenin elo di sekolah besok” bisikku pada Shilla.
**
“ALVIN!!! ELO NGAPAIN JALAN BERDUA SAMA
SHILLA?!” bentakan Ify mengagetkanku yang baru masuk ke gerbang berdua dengan
Shilla. Aku mendelik ke arah Ify.
“Apa hak lo ngelarang gue jalan sama
Shilla? Toh gue bukan cowok lo kan? Urus aja noh, si Rio. jangan gue!” balasku
sambil menggandeng Shilla ke kelasnya.
“Nanti kalo ada apa-apa, bilang sama gue
ya?” ujarku sebelum meninggalkan kelas Shilla.
“Vin, elo lupa sesuatu?” tiba-tiba, Rio
langsung menyerangku dengan satu pertanyaan yang benar-benar mebuatku pusing.
“Lupa apaan?” tanyaku heran, sambil
memasukkan tangan di kantong celana.
“Lupa kalo Shilla itu matre?”
“Dia nggak matre” tandasku.
“Tapi dia morotin harta Cakka. Lo tau?
Belom ada sebulan putus, dia langsung deketin elo. buat apa lagi kalo bukan
buat morotin harta lo?”
“Gue nggak punya harta, lo tau? Bokap
sama Nyokap gue cerai” ujarku menampik tuduhan Rio terhadap Shilla. Yah, aku
tidak berbohong. Orangtuaku memang cerai dan belum rujuk, kan? Jadi bisa
dibilang aku numpang tinggal untuk sementara.
“Jadi elo…”
“Kalo elo mau jauhin gue, boleh. Gue
nggak masalah. Tapi jangan tuduh Shilla yang enggak-enggak. Tega bener lo sama
cewek kayak Shilla. Gue kira lo tuh bijaksana, Yo! Tapi, ternyata elo cowok
yang takut sama ceweknya sendiri” kataku pada Rio sambil menunjuk-nunjuknya,
lalu aku bergegas masuk ke dalam kelas.
**
Aku dan Shilla langsung menuju aula
sekolah untuk tau apa yang sedang terjadi. Heboh-heboh apa dan kasak-kusuk apa?
Mungkinkah ini tentang omonganku dan Rio tadi pagi??
“Vin! Liat ada siapa di podium!” seru
Shilla sambil menunjuk podium.
Aku menyipitkan mataku yang memang sudah
sipit. Mencoba melihat orang yang di podium itu lebih jelas.
“Cakka.. Ngapain dia disitu?” tanyaku
pada Shilla.
“Nggak tau gue. Jangan-jangan, dia mau
minta orang-orang buat ngejauhin elo juga gara-gara deket sama gue, lagi” duga
Shilla.
“Kalo gue nggak papa. Asal jagan nuduh
elo aja deh”
“Vin, kok lo baik banget sih, sama
gue??” tanya Shilla.
Ah, iya juga. Untuk apa aku mengasihani
orang lain? Sedangkan aku sendiri juga butuh dikasihani. Mungkinkah, aku suka
pada Shilla?? Mungkinkah..??
“Vin.. Kenapa??” tanya Shilla lagi.
“Gue…”
“Ehm.. Selamat siang, semua. Maaf jam
istirahat kalian gue pake sebentar buat ngumumin sebuah hal penting yang perlu
gue revisi” buka Cakka sambil berdehem pelan dari atas podium yang posisinya
agak jauh dari tempatku dan Shilla berdiri. “Jadi, gue mau ngucapin selamat
bergabung lagi kepada kapten futsal kita, Alvin Jonathan. Juga, gue mau bilang
ke kalian semua, kalo ucapan gue tentang Shilla beberapa waktu yang lalu itu,
harus gue cabut. Gue minta maaf buat Ashilla Zahrantiara karena udah nuduh elo
yang enggak-enggak. Sekian dari gue, Selamat Siang”
Aku dan Shilla berpandangan. Sejak kapan
Cakka peduli pada orang lain? Sejak kapan Cakka memberikan ucapan selamat
datang pada orang lain?? Dan yang aku bingungkan, ternyata Cakka mencabut
tuduhannya terhadap Shilla.
Tanpa aku kira, Shilla memelukku sambil
membisikkan sesuatu. “Makasih semua dukungan elo, Vin. Gue jadi bebas dari
tuduhan ini. Makasih banget ya, Vin. Gue sayang elo”
“Gue juga sayang sama elo, Shil” ujarku
sambil berbisik.
Shilla melepaskan pelukannya. Ada rona
merah menghiasi wajahnya. Dia tersenyum padaku. Aku membalas senyuman Shilla
yang manis itu.
“Jadi, kapan kita jadian??”
“Hah??” ku lihat Shilla ternganga. Aku
jadi ingin tertawa melihat ekspresi Shilla yang menggemaskan itu. “Vin, ada
nyam—”
PLAKKK!!!
“Aw!! Shillaaaaaa!” teriakku kesakitan
sambil memegangi pipi.
“Ups, Sorry..” ujar Shilla sambil
melihatkan deretan giginya yang berbehel.
0 comments:
Post a Comment